Rabu, 15 Mei 2013

Malam Penuh Kemuliaan

Laila, Oh Lailatul (Qadar)

Wahai sekawanan burung merpati, adakah di antara mereka meminjamkan kedua sayapnya Agar aku bisa terbang kepada seseorang yang menjatuhkan hatiku.
(Syair Qais kepada Laila)

Segala puji bagi Allâh, yang telah melengkapi kita dengan nikmat kasih sayang. Dengan nikmat itu kita bisa leluasa membuat langkah-langkah yang tepat untuk menggapai kebahagiaan. Bahagia diri sendiri. Bahagia keluarga. Bahagia menerima karunia sebagai umat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Sejatinya, pelaksanaan puasa yang ideal sesungguhnya adalah penyerahan diri seseorang (shâim) secara habis-habisan ke hadirat-Nya. Ketika ia melerai diri dari kemungkinan lapar, mencegah dari kemungkinan haus, menyingkirkan dari berbuat maksiat, pada dasarnya ia sedang berusaha menapaki sirâj (jalan) yang berujung pada satu titik, jalan lurus nan kehadapan-Nya.
Bukan tidak mungkin, demi memutlakkan satu-satunya jalan ke hadirat-Nya itu terkadang ia bisa terjatuh, merasakan luka, bahkan sakit yang tak alang kepalang. Namun, bukanlah sakit karena sengsara yang akan dinikmatinya, tapi sakit yang berbuah pada bahagia. Lantas seperti apa luka itu?
Adalah luka yang tertata rapi dan sempurna dalam lubuk keimanan seseorang. Luka semacam ini bertungkus lumus dalam tangguhnya kesabaran yang dimiliknya. Dalam ranah keruhanian, bisa dikatakan bahwa tangguhnya kesabaran ini jauh lebih kukuh dan jauh lebih luas dibandingkan dengan luasnya alam jagad raya ini. Orang yang mempunyai kesabaran semacam ini menjadi orang yang dikasihi Allâh, sampai-sampai Allâh bersedia untuk bersemayam di hatinya.
Wa idzâ sa’alaka ’ibâdî ’annî fa innî qarîb “Apabila hamba-hambamu bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat”. Kedekatan semacam itu pastilah bermula dengan manisnya iman seorang hamba. Tak tanggung-tanggung setelah iman seseorang telah mapan, segala tindak-tanduknya digerakkan oleh Allâh. Allâh bersemayam di dalam lubuk hatinya. Secara tegas Allâh mewartakannya dalam sebuah hadits qudsi, “Langit dan bumi-Ku tidak sanggup menampung-Ku, tapi seorang hamba-Ku yang beriman dan sabar sanggup menampung-Ku.
Al-Adawiyah contohnya. Sejatinya ia seorang wanita, tapi di kalangan para sufi ia disebut “raja”. Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain, getaran cinta illahi. Pernah ia berkata, “Bila kau ingin menganugerahiku nikmat duniawi, berikan itu kepada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.
Seperi halnya al-Adawiyah, seseorang yang menjalankan puasa secara hakiki tentu tidak akan merasa lapar dan haus. Sebab, lapar dan hausnya semata-mata hanya tertuju kepada Allâh swt, bukan kepada makanan atau minuman yang paling menggiurkan sekalipun. Dan Allâh senantiasa mendatangi hati hambanya yang lapang untuk memberinya seteguk air dalam sebuah perjumpaan, di lembah cintanya Allâh. Tentu dengan hal-hal yang tak bisa kita ukur secara logika.
Di saat itu lah Allâh memberi hambanya “sebutir” ridha-Nya. Tiada hal yang lebih baik, kecuali kita memperoleh ridha Illâhi. Bahkan, jika dihitung dan ditimbang berat “sebutir” ridha yang diberikan Allâh kepada hamba yang dicintai-Nya dengan seluruh keimanan yang ada, maka seluruh keimanan itu belumlah mempunyai arti sedikitpun.
Hal itulah yang harus kita sadari bersama-sama sejak dini. Menjadi hal yang istimewa apabila kita sanggup memperoleh cinta Allâh dan menapaki jalan menuju ridha-Nya. Lebih istimewa lagi kalau kita mendapatkan keistimewaan Ramadhan berupa berkah “Laila al-Qadar”. Al-Qur’ân menjelaskan bahwa, malam Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan. Para malaikat dan (ruh) Jibril silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Bagaimana mendapatkan malam yang penuh keberkahan di bulan suci ini? Tentu seseorang yang mendapatkan restu-Nya lah yang akan berjumpa dengan Lailatul Qadar. Sebagai bahan perenungan bersama, mari kita ambil manfaat dari kisah “Qais dan Laila” agar bisa berjumpa dengan Lailatul Qadar.

Qais dan Laila
Siapa yang tak kenal dengan Laila, seorang gadis yang cantik menawan bak bunga mawar itu? Siapa pula yang tak  kenal Qais, pemuda yang cerdik nan tampan itu? Begitu cintanya Qais kepada Laila sampai-sampai ia dijuluki “Majnun”, si gila. Namun, yang penulis ingin ulas di sini bukanlah kegilaan si Majnun karena cintanya kepada Laila, tapi apa makna cinta itu sendiri.
Kita pasti sepakat kalau dua insan sudah terlanjur saling mencintai, pasti nafsunya memaksa untuk terus jumpa. Namun tidak untuk Qais. Dalam suatu kesempatan ia ditanya, “Apakah engkau mencintai Laila?Ia menjawabTidak, mengapa demikian?Karena cinta disebabkan oleh pandangan mata dan sungguh penyebab itu telah tiada, maka aku adalah Laila dan Laila adalah Aku.
Kembali lagi ia ditanya, Kamu sudah makan? Ia menjawab: Laila, kamu sudah minum? Laila. Kamu tidak pulang ke rumah? Laila. Begitu seterusnya, ia hanya berucap lirih Laila, Laila, dan Laila tanpa ada habisnya. Banyak para sufi yang menilai bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh Qais dengan Laila tak lain adalah Allâh, Allâh, dan Allâh.
Dalam suatu kesempatan ada seorang sufi yang bermimpi melihat Qais hadir menemui Allâh. Allâh menyambut Qais dengan penuh kasih sayang. Lalu, Allâh pun berkata kepada Qais, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur cinta-Ku?” begitu bangun sang sufi termenung. Ia menemukan sebuah pesan bahwa hanya ketulusan dan keikhlasan yang dapat melahirkan sikap bagaimana kita menyelami hakikat dan pemaknaan cinta yang sejati. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan hanya kepada sang Rahmân dan sang Rahîm, Allâh.

Lailatul Qadar
Barangkali tak banyak yang bisa penulis kupas mengenai cara memperoleh kenikmatan Lailatul Qadar di bulan suci ini. Mungkin salah satu kunci yang bisa penulis usulkan di sini,  sebuah kata yang selalu kita sebut-sebut, yaitu mawaddah wa rahmah. Mengapa? Mawaddah wa rahmah itu adalah suatu cinta dengan tingkatan cinta yang tinggi dan lebih tinggi dari cinta fisik yang dalam bahasa Arab disebut mahabbah atau lebih tepatnya hubb al-syahawat.
Sudah barang tentu kita semua pasti akan memenuhi panggilan Allâh. Semua berasal dari-Nya dan akan pulang ke hadirat-Nya. Dalam sebuah perjalanan, seseorang dikatakan selamat, apabila ia berhasil mencapai tempat tujuan. Dengan demikian, orang yang berbahagia adalah orang yang berhasil pulang. Sebaliknya kalau orang tidak berhasil pulang ke asal, maka bisa dikatakan bahwa orang itu tersesat. Itulah pangkal dari kesengsaraan.
Apa hubungannya dengan Lailatul Qadar? Dalam sebuah kesempatan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di masjid menunggu-nunggu datangnya Lailatul Qadar. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjelaskan apa itu sebenarnya Lailatul Qadar dan kapan datangnya. Ia hanya mengatakan bahwa “Apa yang kalian tunggu-tunggu insya Allâh malam ini akan datang. Hujan turun lebat, aku belepotan dengan lumpur dan basah kuyup dengan air.”
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hujan datang. Dengan mudah, air membanjiri masjid Madinah yang saat itu masih berbilik daun kurma dan beralaskan tanah. Dengan cepat tanah menjadi gempur, lumpur. Mereka melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedang sholat dalam keadaan basah kuyup dan sekujur tubuhnya belepotan dengan lumpur. Lantas apa yang dimaksud dengan Lailatul Qadar oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam itu?
Semata-mata ini adalah lingkup ruhani, dan tidak ada kata-kata yang cukup untuk dapat menjelaskannya secara gamblang. Barangkali ini adalah simbol. Bahwa belepotannya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan lumpur dan basahnya dengan air sebenarnya adalah suatu pengingat kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani adalah kalau kita kembali ke asal. Dari mana? Dari tanah dan dari air.
Bagi sebagian orang pasti pernah merasakan dan bertanya-tanya mengapa ia begitu rindu kepada Allâh dan kembali pulang ke hadirat-Nya? Fakta ini membuktikan bahwa hanya orang yang bisa kembali kepada Allâh yang akan merasakan kebahagiaan atau sakînah. Sederhananya, sakînah ini berarti tujuan dari kehidupan keluarga. Inilah dasar rasa cinta kepada sesama manusia, tentu atas dasar kemanusiaan itu sendiri. Dan cinta itu belum cukup, harus ditingkatkan lagi menuju cinta Illahi. Di sana lah hadir suatu bentuk Rahmah.
Itulah kiranya yang harus dicari dalam tahap ruhani puasa ini melalui Lailatul Qadar. Semua pasti akan kembali kepada-Nya. Dan seorang hamba yang telah mencapai tingkatan seperti ini adalah mereka yang bersedekah dan mendermakan sebagian rizki Allâh, namun hatinya tetap malu bahwa mereka kelak akan bertemu Allâh.

Besar harapan melalui puasa di bulan Ramadhan ini kebahagiaan akan menyebar ke seluruh masyarakat dan mampu mencapai semua cita-cita yang diletakkan oleh agama kita sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Allâhummaj’al hubbaka ahabba ilainâ minal mâil barîd. Âamiin.

sumber: kajian agama Islam, media ta'lim mingguan























Tidak ada komentar:

Posting Komentar