Laila, Oh Lailatul (Qadar)
Wahai sekawanan
burung merpati, adakah di antara mereka meminjamkan kedua sayapnya Agar aku
bisa terbang kepada seseorang yang menjatuhkan hatiku.
(Syair Qais kepada
Laila)
Segala puji bagi
Allâh, yang telah melengkapi kita dengan nikmat kasih sayang. Dengan nikmat itu
kita bisa leluasa membuat langkah-langkah yang tepat untuk menggapai
kebahagiaan. Bahagia diri sendiri. Bahagia keluarga. Bahagia menerima karunia
sebagai umat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Sejatinya,
pelaksanaan puasa yang ideal sesungguhnya adalah penyerahan diri seseorang (shâim)
secara habis-habisan ke hadirat-Nya. Ketika ia melerai diri dari kemungkinan
lapar, mencegah dari kemungkinan haus, menyingkirkan dari berbuat maksiat, pada
dasarnya ia sedang berusaha menapaki sirâj (jalan) yang berujung pada
satu titik, jalan lurus nan kehadapan-Nya.
Bukan tidak mungkin,
demi memutlakkan satu-satunya jalan ke hadirat-Nya itu terkadang ia bisa
terjatuh, merasakan luka, bahkan sakit yang tak alang kepalang. Namun, bukanlah
sakit karena sengsara yang akan dinikmatinya, tapi sakit yang berbuah pada
bahagia. Lantas seperti apa luka itu?
Adalah luka yang
tertata rapi dan sempurna dalam lubuk keimanan seseorang. Luka semacam ini
bertungkus lumus dalam tangguhnya kesabaran yang dimiliknya. Dalam ranah
keruhanian, bisa dikatakan bahwa tangguhnya kesabaran ini jauh lebih kukuh dan
jauh lebih luas dibandingkan dengan luasnya alam jagad raya ini. Orang yang
mempunyai kesabaran semacam ini menjadi orang yang dikasihi Allâh,
sampai-sampai Allâh bersedia untuk bersemayam di hatinya.
Wa idzâ sa’alaka
’ibâdî ’annî fa innî qarîb “Apabila hamba-hambamu bertanya tentang Aku,
maka (jawablah) bahwa Aku dekat”. Kedekatan semacam itu pastilah bermula dengan
manisnya iman seorang hamba. Tak tanggung-tanggung setelah iman seseorang telah
mapan, segala tindak-tanduknya digerakkan oleh Allâh. Allâh bersemayam di dalam
lubuk hatinya. Secara tegas Allâh mewartakannya dalam sebuah hadits qudsi, “Langit
dan bumi-Ku tidak sanggup menampung-Ku, tapi seorang hamba-Ku yang beriman dan
sabar sanggup menampung-Ku. ”
Al-Adawiyah
contohnya. Sejatinya ia seorang wanita, tapi di kalangan para sufi ia disebut
“raja”. Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak
menarik berkat pesona lain, getaran cinta illahi. Pernah ia berkata, “Bila
kau ingin menganugerahiku nikmat duniawi, berikan itu kepada musuh-musuh-Mu.
Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada
sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”
Seperi halnya
al-Adawiyah, seseorang yang menjalankan puasa secara hakiki tentu tidak akan
merasa lapar dan haus. Sebab, lapar dan hausnya semata-mata hanya tertuju
kepada Allâh swt, bukan kepada makanan atau minuman yang paling menggiurkan
sekalipun. Dan Allâh senantiasa mendatangi hati hambanya yang lapang untuk
memberinya seteguk air dalam sebuah perjumpaan, di lembah cintanya Allâh. Tentu
dengan hal-hal yang tak bisa kita ukur secara logika.
Di saat itu lah
Allâh memberi hambanya “sebutir” ridha-Nya. Tiada hal yang lebih baik, kecuali
kita memperoleh ridha Illâhi. Bahkan, jika dihitung dan ditimbang berat
“sebutir” ridha yang diberikan Allâh kepada hamba yang dicintai-Nya dengan
seluruh keimanan yang ada, maka seluruh keimanan itu belumlah mempunyai arti
sedikitpun.
Hal itulah yang
harus kita sadari bersama-sama sejak dini. Menjadi hal yang istimewa apabila
kita sanggup memperoleh cinta Allâh dan menapaki jalan menuju ridha-Nya. Lebih
istimewa lagi kalau kita mendapatkan keistimewaan Ramadhan berupa berkah “Laila
al-Qadar”. Al-Qur’ân menjelaskan bahwa, malam Qadar itu lebih baik
daripada seribu bulan. Para malaikat dan (ruh) Jibril silih berganti turun
seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Bagaimana
mendapatkan malam yang penuh keberkahan di bulan suci ini? Tentu seseorang yang
mendapatkan restu-Nya lah yang akan berjumpa dengan Lailatul Qadar. Sebagai
bahan perenungan bersama, mari kita ambil manfaat dari kisah “Qais dan Laila”
agar bisa berjumpa dengan Lailatul Qadar.
Qais
dan Laila
Siapa yang tak kenal
dengan Laila, seorang gadis yang cantik menawan bak bunga mawar itu? Siapa
pula yang tak kenal Qais, pemuda yang cerdik nan tampan itu? Begitu
cintanya Qais kepada Laila sampai-sampai ia dijuluki “Majnun”, si gila. Namun,
yang penulis ingin ulas di sini bukanlah kegilaan si Majnun karena cintanya
kepada Laila, tapi apa makna cinta itu sendiri.
Kita pasti sepakat
kalau dua insan sudah terlanjur saling mencintai, pasti nafsunya memaksa untuk
terus jumpa. Namun tidak untuk Qais. Dalam suatu kesempatan ia ditanya, “Apakah
engkau mencintai Laila?” Ia menjawab “Tidak”, mengapa demikian? “Karena
cinta disebabkan oleh pandangan mata dan sungguh penyebab itu telah tiada, maka
aku adalah Laila dan Laila adalah Aku.”
Kembali lagi ia
ditanya, Kamu sudah makan? Ia menjawab: Laila, kamu sudah minum? Laila. Kamu
tidak pulang ke rumah? Laila. Begitu seterusnya, ia hanya berucap lirih Laila,
Laila, dan Laila tanpa ada habisnya. Banyak para sufi yang menilai bahwa
sesungguhnya yang dimaksud oleh Qais dengan Laila tak lain adalah Allâh, Allâh,
dan Allâh.
Dalam suatu
kesempatan ada seorang sufi yang bermimpi melihat Qais hadir menemui Allâh.
Allâh menyambut Qais dengan penuh kasih sayang. Lalu, Allâh pun berkata kepada
Qais, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah
engkau meminum anggur cinta-Ku?” begitu bangun sang sufi termenung. Ia
menemukan sebuah pesan bahwa hanya ketulusan dan keikhlasan yang dapat
melahirkan sikap bagaimana kita menyelami hakikat dan pemaknaan cinta yang
sejati. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan hanya kepada sang Rahmân
dan sang Rahîm, Allâh.
Lailatul
Qadar
Barangkali tak
banyak yang bisa penulis kupas mengenai cara memperoleh kenikmatan Lailatul
Qadar di bulan suci ini. Mungkin salah satu kunci yang bisa penulis usulkan di
sini, sebuah kata yang selalu kita sebut-sebut, yaitu mawaddah wa
rahmah. Mengapa? Mawaddah wa rahmah itu adalah suatu cinta dengan
tingkatan cinta yang tinggi dan lebih tinggi dari cinta fisik yang dalam bahasa
Arab disebut mahabbah atau lebih tepatnya hubb al-syahawat.
Sudah
barang tentu kita semua pasti akan memenuhi panggilan Allâh. Semua berasal
dari-Nya dan akan pulang ke hadirat-Nya. Dalam sebuah perjalanan, seseorang
dikatakan selamat, apabila ia berhasil mencapai tempat tujuan. Dengan demikian,
orang yang berbahagia adalah orang yang berhasil pulang. Sebaliknya kalau orang
tidak berhasil pulang ke asal, maka bisa dikatakan bahwa orang itu tersesat.
Itulah pangkal dari kesengsaraan.
Apa hubungannya
dengan Lailatul Qadar? Dalam sebuah kesempatan Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di masjid
menunggu-nunggu datangnya Lailatul Qadar. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menjelaskan apa itu sebenarnya Lailatul Qadar dan
kapan datangnya. Ia hanya mengatakan bahwa “Apa yang kalian tunggu-tunggu
insya Allâh malam ini akan datang. Hujan turun lebat, aku belepotan dengan
lumpur dan basah kuyup dengan air.”
Saat yang
ditunggu-tunggu pun tiba. Hujan datang. Dengan mudah, air membanjiri masjid
Madinah yang saat itu masih berbilik daun kurma dan beralaskan tanah. Dengan
cepat tanah menjadi gempur, lumpur. Mereka melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam sedang sholat dalam keadaan basah kuyup dan sekujur tubuhnya belepotan
dengan lumpur. Lantas apa yang dimaksud dengan Lailatul Qadar oleh Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam itu?
Semata-mata ini
adalah lingkup ruhani, dan tidak ada kata-kata yang cukup untuk dapat menjelaskannya
secara gamblang. Barangkali ini adalah simbol. Bahwa belepotannya Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan lumpur dan basahnya dengan air sebenarnya
adalah suatu pengingat kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman
ruhani adalah kalau kita kembali ke asal. Dari mana? Dari tanah dan dari air.
Bagi sebagian orang
pasti pernah merasakan dan bertanya-tanya mengapa ia begitu rindu kepada Allâh
dan kembali pulang ke hadirat-Nya? Fakta ini membuktikan bahwa hanya orang yang
bisa kembali kepada Allâh yang akan merasakan kebahagiaan atau sakînah.
Sederhananya, sakînah ini berarti tujuan dari kehidupan keluarga.
Inilah dasar rasa cinta kepada sesama manusia, tentu atas dasar kemanusiaan itu
sendiri. Dan cinta itu belum cukup, harus ditingkatkan lagi menuju cinta
Illahi. Di sana lah hadir suatu bentuk Rahmah.
Itulah kiranya yang
harus dicari dalam tahap ruhani puasa ini melalui Lailatul Qadar. Semua pasti
akan kembali kepada-Nya. Dan seorang hamba yang telah mencapai tingkatan
seperti ini adalah mereka yang bersedekah dan mendermakan sebagian rizki Allâh,
namun hatinya tetap malu bahwa mereka kelak akan bertemu Allâh.
Besar harapan
melalui puasa di bulan Ramadhan ini kebahagiaan akan menyebar ke seluruh
masyarakat dan mampu mencapai semua cita-cita yang diletakkan oleh agama kita
sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Allâhummaj’al hubbaka ahabba ilainâ minal
mâil barîd. Âamiin.
sumber: kajian agama Islam, media ta'lim mingguan