Rabu, 15 Mei 2013

Malam Penuh Kemuliaan

Laila, Oh Lailatul (Qadar)

Wahai sekawanan burung merpati, adakah di antara mereka meminjamkan kedua sayapnya Agar aku bisa terbang kepada seseorang yang menjatuhkan hatiku.
(Syair Qais kepada Laila)

Segala puji bagi Allâh, yang telah melengkapi kita dengan nikmat kasih sayang. Dengan nikmat itu kita bisa leluasa membuat langkah-langkah yang tepat untuk menggapai kebahagiaan. Bahagia diri sendiri. Bahagia keluarga. Bahagia menerima karunia sebagai umat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Sejatinya, pelaksanaan puasa yang ideal sesungguhnya adalah penyerahan diri seseorang (shâim) secara habis-habisan ke hadirat-Nya. Ketika ia melerai diri dari kemungkinan lapar, mencegah dari kemungkinan haus, menyingkirkan dari berbuat maksiat, pada dasarnya ia sedang berusaha menapaki sirâj (jalan) yang berujung pada satu titik, jalan lurus nan kehadapan-Nya.
Bukan tidak mungkin, demi memutlakkan satu-satunya jalan ke hadirat-Nya itu terkadang ia bisa terjatuh, merasakan luka, bahkan sakit yang tak alang kepalang. Namun, bukanlah sakit karena sengsara yang akan dinikmatinya, tapi sakit yang berbuah pada bahagia. Lantas seperti apa luka itu?
Adalah luka yang tertata rapi dan sempurna dalam lubuk keimanan seseorang. Luka semacam ini bertungkus lumus dalam tangguhnya kesabaran yang dimiliknya. Dalam ranah keruhanian, bisa dikatakan bahwa tangguhnya kesabaran ini jauh lebih kukuh dan jauh lebih luas dibandingkan dengan luasnya alam jagad raya ini. Orang yang mempunyai kesabaran semacam ini menjadi orang yang dikasihi Allâh, sampai-sampai Allâh bersedia untuk bersemayam di hatinya.
Wa idzâ sa’alaka ’ibâdî ’annî fa innî qarîb “Apabila hamba-hambamu bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat”. Kedekatan semacam itu pastilah bermula dengan manisnya iman seorang hamba. Tak tanggung-tanggung setelah iman seseorang telah mapan, segala tindak-tanduknya digerakkan oleh Allâh. Allâh bersemayam di dalam lubuk hatinya. Secara tegas Allâh mewartakannya dalam sebuah hadits qudsi, “Langit dan bumi-Ku tidak sanggup menampung-Ku, tapi seorang hamba-Ku yang beriman dan sabar sanggup menampung-Ku.
Al-Adawiyah contohnya. Sejatinya ia seorang wanita, tapi di kalangan para sufi ia disebut “raja”. Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain, getaran cinta illahi. Pernah ia berkata, “Bila kau ingin menganugerahiku nikmat duniawi, berikan itu kepada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.
Seperi halnya al-Adawiyah, seseorang yang menjalankan puasa secara hakiki tentu tidak akan merasa lapar dan haus. Sebab, lapar dan hausnya semata-mata hanya tertuju kepada Allâh swt, bukan kepada makanan atau minuman yang paling menggiurkan sekalipun. Dan Allâh senantiasa mendatangi hati hambanya yang lapang untuk memberinya seteguk air dalam sebuah perjumpaan, di lembah cintanya Allâh. Tentu dengan hal-hal yang tak bisa kita ukur secara logika.
Di saat itu lah Allâh memberi hambanya “sebutir” ridha-Nya. Tiada hal yang lebih baik, kecuali kita memperoleh ridha Illâhi. Bahkan, jika dihitung dan ditimbang berat “sebutir” ridha yang diberikan Allâh kepada hamba yang dicintai-Nya dengan seluruh keimanan yang ada, maka seluruh keimanan itu belumlah mempunyai arti sedikitpun.
Hal itulah yang harus kita sadari bersama-sama sejak dini. Menjadi hal yang istimewa apabila kita sanggup memperoleh cinta Allâh dan menapaki jalan menuju ridha-Nya. Lebih istimewa lagi kalau kita mendapatkan keistimewaan Ramadhan berupa berkah “Laila al-Qadar”. Al-Qur’ân menjelaskan bahwa, malam Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan. Para malaikat dan (ruh) Jibril silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Bagaimana mendapatkan malam yang penuh keberkahan di bulan suci ini? Tentu seseorang yang mendapatkan restu-Nya lah yang akan berjumpa dengan Lailatul Qadar. Sebagai bahan perenungan bersama, mari kita ambil manfaat dari kisah “Qais dan Laila” agar bisa berjumpa dengan Lailatul Qadar.

Qais dan Laila
Siapa yang tak kenal dengan Laila, seorang gadis yang cantik menawan bak bunga mawar itu? Siapa pula yang tak  kenal Qais, pemuda yang cerdik nan tampan itu? Begitu cintanya Qais kepada Laila sampai-sampai ia dijuluki “Majnun”, si gila. Namun, yang penulis ingin ulas di sini bukanlah kegilaan si Majnun karena cintanya kepada Laila, tapi apa makna cinta itu sendiri.
Kita pasti sepakat kalau dua insan sudah terlanjur saling mencintai, pasti nafsunya memaksa untuk terus jumpa. Namun tidak untuk Qais. Dalam suatu kesempatan ia ditanya, “Apakah engkau mencintai Laila?Ia menjawabTidak, mengapa demikian?Karena cinta disebabkan oleh pandangan mata dan sungguh penyebab itu telah tiada, maka aku adalah Laila dan Laila adalah Aku.
Kembali lagi ia ditanya, Kamu sudah makan? Ia menjawab: Laila, kamu sudah minum? Laila. Kamu tidak pulang ke rumah? Laila. Begitu seterusnya, ia hanya berucap lirih Laila, Laila, dan Laila tanpa ada habisnya. Banyak para sufi yang menilai bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh Qais dengan Laila tak lain adalah Allâh, Allâh, dan Allâh.
Dalam suatu kesempatan ada seorang sufi yang bermimpi melihat Qais hadir menemui Allâh. Allâh menyambut Qais dengan penuh kasih sayang. Lalu, Allâh pun berkata kepada Qais, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur cinta-Ku?” begitu bangun sang sufi termenung. Ia menemukan sebuah pesan bahwa hanya ketulusan dan keikhlasan yang dapat melahirkan sikap bagaimana kita menyelami hakikat dan pemaknaan cinta yang sejati. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan hanya kepada sang Rahmân dan sang Rahîm, Allâh.

Lailatul Qadar
Barangkali tak banyak yang bisa penulis kupas mengenai cara memperoleh kenikmatan Lailatul Qadar di bulan suci ini. Mungkin salah satu kunci yang bisa penulis usulkan di sini,  sebuah kata yang selalu kita sebut-sebut, yaitu mawaddah wa rahmah. Mengapa? Mawaddah wa rahmah itu adalah suatu cinta dengan tingkatan cinta yang tinggi dan lebih tinggi dari cinta fisik yang dalam bahasa Arab disebut mahabbah atau lebih tepatnya hubb al-syahawat.
Sudah barang tentu kita semua pasti akan memenuhi panggilan Allâh. Semua berasal dari-Nya dan akan pulang ke hadirat-Nya. Dalam sebuah perjalanan, seseorang dikatakan selamat, apabila ia berhasil mencapai tempat tujuan. Dengan demikian, orang yang berbahagia adalah orang yang berhasil pulang. Sebaliknya kalau orang tidak berhasil pulang ke asal, maka bisa dikatakan bahwa orang itu tersesat. Itulah pangkal dari kesengsaraan.
Apa hubungannya dengan Lailatul Qadar? Dalam sebuah kesempatan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di masjid menunggu-nunggu datangnya Lailatul Qadar. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjelaskan apa itu sebenarnya Lailatul Qadar dan kapan datangnya. Ia hanya mengatakan bahwa “Apa yang kalian tunggu-tunggu insya Allâh malam ini akan datang. Hujan turun lebat, aku belepotan dengan lumpur dan basah kuyup dengan air.”
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hujan datang. Dengan mudah, air membanjiri masjid Madinah yang saat itu masih berbilik daun kurma dan beralaskan tanah. Dengan cepat tanah menjadi gempur, lumpur. Mereka melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedang sholat dalam keadaan basah kuyup dan sekujur tubuhnya belepotan dengan lumpur. Lantas apa yang dimaksud dengan Lailatul Qadar oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam itu?
Semata-mata ini adalah lingkup ruhani, dan tidak ada kata-kata yang cukup untuk dapat menjelaskannya secara gamblang. Barangkali ini adalah simbol. Bahwa belepotannya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan lumpur dan basahnya dengan air sebenarnya adalah suatu pengingat kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani adalah kalau kita kembali ke asal. Dari mana? Dari tanah dan dari air.
Bagi sebagian orang pasti pernah merasakan dan bertanya-tanya mengapa ia begitu rindu kepada Allâh dan kembali pulang ke hadirat-Nya? Fakta ini membuktikan bahwa hanya orang yang bisa kembali kepada Allâh yang akan merasakan kebahagiaan atau sakînah. Sederhananya, sakînah ini berarti tujuan dari kehidupan keluarga. Inilah dasar rasa cinta kepada sesama manusia, tentu atas dasar kemanusiaan itu sendiri. Dan cinta itu belum cukup, harus ditingkatkan lagi menuju cinta Illahi. Di sana lah hadir suatu bentuk Rahmah.
Itulah kiranya yang harus dicari dalam tahap ruhani puasa ini melalui Lailatul Qadar. Semua pasti akan kembali kepada-Nya. Dan seorang hamba yang telah mencapai tingkatan seperti ini adalah mereka yang bersedekah dan mendermakan sebagian rizki Allâh, namun hatinya tetap malu bahwa mereka kelak akan bertemu Allâh.

Besar harapan melalui puasa di bulan Ramadhan ini kebahagiaan akan menyebar ke seluruh masyarakat dan mampu mencapai semua cita-cita yang diletakkan oleh agama kita sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Allâhummaj’al hubbaka ahabba ilainâ minal mâil barîd. Âamiin.

sumber: kajian agama Islam, media ta'lim mingguan























Berkah Ibadah Di Bulan Ramadhan

Keutamaan-keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadhan

Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata bahwa : Nabi Muhammad SAW ditanya tentang keutamaan-keutamaan tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beliau bersabda :
  1. Malam pertama : Orang mukmin terlepas dari dosanya, bersih seperti hari dia dilahirkan dari kandungan ibunya.
  2. Malam ke dua : Dia diampuni dan juga kedua orang tuanya jika keduanya mukmin.
  3. Malam ke tiga : Ada salah satu malaikat mengundang dari bawah arasy : “ mulailah bekerja maka allah mengampuni dosamu yang telah lalu.”
  4. Malam ke empat : Baginya pahala sebanyak pahala membaca kitab taurat, injil, zabur dan al-qur’an.
  5. Malam ke lima : Baginya pahala seperti pahala orang yang sholat di masjidil haram, di masjid madinah, dan di masjid al-aqsa.
  6. Malam ke enam : Baginya pahala seperti pahala orang yang melakukan tawaf di baitul ma’muuri dan semua batu-batu dan tanah liat keras memohonkan ampun untuknya.
  7. Malam ke tujuh : Seakan-akan dia bertemu dengan nabi musa as dan membantunya memerangi fir’aun dan haaman.
  8. Malam ke delapan : Allah ta’ala memberikan kepadanya seperti apa-apa yang telah diberikan kepada nabi ibrahim as.
  9. Malam ke sembilan : Seakan-akan dia telah mengerjakan ibadah seperti ibadah nabi muhammad saw.
  10. Malam ke sepuluh : Allah memberikan rezeki kepadanya kebaikan di dunia dan akhirat.
  11. Malam ke sebelas : Dia akan keluar dari dunia (setelah mati) seperti hari dia dilahirkan dari kandungan ibunya.
  12. Malam ke dua belas : Di hari qiamat, dia akan dibangkitkan dengan wajah yang bagus seperti bulan purnama.
  13. Malam ke tiga belas : Di hari qiamat, dia akan selamat, aman dari segala kesengsaraan
  14. Malam ke empat belas : Para malaikat telah datang memberikan persaksian bahwa dia sungguh-sungguh telah mendirikan sholat tarawih, maka allah tidak akan menghisapnya dihari qiamat.
  15. Malam ke lima belas : Para malaikat dan para pembawa arasy dan kursi memohonkan tambahnya kebaikan untuk dia (orang yang mendirikan sholat tarawih).
  16. Malam ke enam belas : Allah mencatat dia bebas selamat dari neraka dan bebas masuk ke dalam syurga.
  17. Malam ke tujuh belas : Dia di beri pahala sebanyak pahala para nabi-nabi
  18. Malam ke delapan belas : Salah seorang malaikat mengundang: “hai hamba allah, sesungguhnya allah telah redha kepadamu dan kepada kedua orang tuamu”
  19. Malam ke sembilan belas : Allah mengangkat derajatnya di syurga firdaus.
  20. Malam ke duapuluh : Dia diberi pahala sebanyak pahala para syuhada dan solihin
  21. Malam ke duapuluh satu : Allah membangunkan baginya sebuah rumah dari cahaya syurga.
  22. Malam ke duapuluh dua : Di hari qiamat, dia datang dengan keadaan aman dari segala macam rasa susah dan duka.
  23. Malam ke duapuluh tiga : Allah membangunkan baginya sebuah kota di dalam syurga
  24. Malam ke duapuluh empat : Baginya dua puluh empat doa yang di kabulkan.
  25. Malam ke duapuluh lima : Allah menghapuskan siksa kubur dari padanya.
  26. Malam ke duapuluh enam : Allah meningkatkan baginya pahala selama empat puluh tahun
  27. Malam ke duapuluh tujuh : Di hari qiamat, dia akan melewati jembatan siratal mustaqim dengan mudah lagi cepat, laksana kilat yang menyambar.
  28. Malam ke duapuluh delapan : Allah mengangkat seribu derajat baginya di dalam syurga
  29. Malam ke duapuluh sembilan : Allah memberikan kepadanya pahala seribu ibadah haji yang di terima.
  30. Malam ke tiga puluh : Allah berfirman: “makanlah buah-buahan syurga, mandilah dengan air salsabil dan minumlah dari telaga kautsar, aku adalah tuhanmu dan engkau adalah hambaku”.
Catatan : Sholat tarawih memiliki keutamaan dan keistimewaan yang berbeda beda setiap malamnya maka jangan sampai terlewatkan atau meninggalkan ibadah sunah yang satu ini “Rugi”.
sumber: kultum ramadhan dan media ta'lim kajian agama Islam




























Risalah Puasa Ramadhan

Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan

Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath’i) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman ALLAH (yang artinya) : “Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu’, dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” [A-Ahzab : 35]
Dan firman ALLAH (yang artinya) : “Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya” [Al-Baqarah : 184].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
1. Puasa Adalah Perisai [Pelindung]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa’[memutuskan] bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba’ah [mampu dgn berbagai macam persiapannya] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa’ (pemutus syahwat) baginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka” [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih].
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi” [Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH].
Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.
Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu katanya, “Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) : “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? Beliau menjawab : “Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu” [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
5. Bau Mulut Orang Yang Puasa 
Lebih Wangi dari Baunya Misk (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : ‘Aku sedang berpuasa’ [1]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[2] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya” [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari].
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan) (yang artinya) : “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya”
Di dalam riwayat Muslim (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku” Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau misk”
6. Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafa’at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : “Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa’at karenaku”. Al-Qur’an pun berkata : “Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa’at karenaku” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa’at” [3]
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya” [Al-Baqarah : 196]

 Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya) : “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [An-Nisaa' : 92]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” [Al-Maidah : 89]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” [Al-Mujaadiliah : 3-4]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah” [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144] 
8. Ar Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Footnote.
1. Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : “Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya” (Muttafaqun ‘alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Wallahu a’lam.
2. Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
3. Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu’aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin ‘Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu’ Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : “Dan perawinya adalah perawi shahih”
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).
Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta’ala berfirman.
(yang artinya) : “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka” [Al-Baqarah : 3]
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)

Sumber artikel : www.salafy