Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar
Penulis: Ustadz Sufyan
Basweidan, MA
semoga bermanfaat..
Dalam mukaddimah kitab Al
Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan
sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada
tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah
satu dari tiga keadaan:
1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah
mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur
memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba
dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih
jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah:
- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah.
- Mengucapkannya dengan lisan.
- Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang
mesti dipenuhi
2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban
hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal:
- Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah.
- Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah.
- Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ terhadap keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah
menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk
mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan
sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya
Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah
peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk
melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan
keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe
kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan
bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik
yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah
ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim
dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk
ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe
kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah
ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada
Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan
mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah-lah yang
mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah
berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi
ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus
mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan
yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi
oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ
سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
“(Sesungguhnya, engkau (Iblis)
tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai
Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam
ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat
sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah,
baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang
terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan
menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana pun juga, setiap
manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia.
Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang
benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan
terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak
bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan
melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke
kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun
(beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba
terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang
oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif
terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam
Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang
mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin
melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu?
Bila Allah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya
terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan
gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya,
mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut
bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan
demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat
dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi,
ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini,
yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk
Jannah.
Namun sebaliknya orang yang
melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut.
Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti
itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’.
Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk
taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan
beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan
yang bersahaja ini.
semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar